"Karena itu, saat pendaftaran Pilkada pada tanggal 27 Agustus nanti, keputusan Judicial Review MK yang mengabulkan gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora akan tetap berlaku," ujar Dasco.
Pernyataan ini dikeluarkan setelah adanya demonstrasi yang dilakukan oleh Partai Buruh dan berbagai kelompok masyarakat sipil di depan Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta. Aksi protes tersebut merupakan bagian dari gerakan yang disebut 'peringatan darurat Indonesia' yang menjadi viral belakangan ini di media sosial setelah adanya tindakan DPR yang dianggap mengabaikan putusan MK.
Dalam rapat yang digelar pada hari Selasa, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyepakati revisi UU Pilkada. Delapan dari sembilan fraksi di DPR menyetujui revisi tersebut, dengan hanya PDIP yang menyatakan penolakan.
Proses pembahasan RUU Pilkada ini berlangsung dalam waktu kurang dari tujuh jam. Revisi tersebut juga dilakukan sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pencalonan dalam Pilkada. Namun, DPR tidak sepenuhnya mengakomodasi keputusan MK tersebut.
Rencana awalnya, pengesahan RUU Pilkada ini akan dilakukan pada hari ini, namun akhirnya agenda tersebut dibatalkan karena tidak terpenuhinya kuorum.
DPR Secara Resmi Membatalkan RUU Pilkada
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada menjadi undang-undang resmi dibatalkan.
"Pada hari ini, Kamis, 22 Agustus, sekitar pukul 10.00 WIB, setelah mengalami penundaan selama 30 menit, diputuskan bahwa revisi UU Pilkada tidak dapat dilanjutkan. Dengan demikian, pengesahan RUU Pilkada pada hari ini batal," ujar Dasco di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (22/8) sore.
Dasco menambahkan, sesuai dengan prosedur yang berlaku, jika ingin mengadakan rapat paripurna kembali, DPR harus mengikuti tahapan-tahapan yang diatur dalam tata tertib DPR.
"Mengingat Selasa (27/8) nanti kita sudah memasuki tahapan pendaftaran pilkada, kami ingin menegaskan kembali bahwa karena RUU Pilkada belum menjadi undang-undang, maka saat pendaftaran nanti yang akan berlaku adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora," jelas Dasco.
Keputusan untuk membatalkan pengesahan RUU Pilkada ini muncul sebagai respons terhadap gelombang protes masyarakat Indonesia di berbagai daerah, termasuk di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta.
Protes ini merupakan bagian dari gerakan 'peringatan darurat Indonesia' yang ramai di media sosial setelah adanya tindakan DPR yang dianggap mengabaikan putusan MK.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujui revisi UU Pilkada dalam rapat yang digelar pada Selasa. Revisi tersebut disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi di DPR, dengan hanya PDIP yang menolak.
Pembahasan RUU Pilkada ini dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam.
Revisi UU Pilkada dilakukan tepat sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pencalonan dalam pilkada. Namun, DPR tidak sepenuhnya mengikuti keputusan tersebut.
Pada awalnya, pengesahan RUU Pilkada dijadwalkan akan dilakukan hari ini, tetapi agenda tersebut dibatalkan karena tidak tercapainya kuorum.
Bagi Anda yang belum mengetahui kuorum:
Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam suatu pertemuan, seperti rapat, atau sidang agar keputusan yang diambil dalam pertemuan tersebut dianggap sah dan valid. Dalam konteks legislatif, seperti di DPR, kuorum mengacu pada jumlah minimum anggota dewan yang harus hadir untuk bisa mengesahkan undang-undang atau mengambil keputusan penting yang lainnya. Jika kuorum itu tidak tercapai, maka rapat atau sidang tersebut tidak dapat melanjutkan proses pengambilan keputusan.
Waspadai Gerakan DPR dan Jokowi Setelah Gagalnya Pengesahan RUU Pilkada
DPR RI telah gagal mengesahkan Revisi UU Pilkada dalam Rapat Paripurna yang berlangsung pada Kamis (22/8). Pengesahan tersebut batal dilakukan karena jumlah peserta rapat tidak mencapai kuorum.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa Rapat Paripurna dibuka pada sekitar pukul 09.30 WIB dan sempat diskors selama 30 menit. Namun, setelah masa skors selesai, kuorum tetap tidak tercapai, sehingga proses pengesahan RUU Pilkada pun batal.
Akibatnya, DPR tidak akan menggelar rapat paripurna lagi dalam waktu dekat. Dasco menambahkan bahwa meskipun rapat paripurna berikutnya dijadwalkan pada Selasa (27/8), hari itu bertepatan dengan dimulainya masa pendaftaran calon pasangan di Pilkada, sehingga pengesahan UU Pilkada tidak memungkinkan.
Oleh karena itu, Dasco memastikan bahwa Pilkada 2024 akan mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan pencalonan kepala daerah.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifudin, juga menyatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan draf peraturan KPU (PKPU) nomor 8 tahun 2024 tentang syarat Pilkada sebagai tindak lanjut dari putusan MK kepada Komisi II DPR.
Pada saat yang sama, demonstrasi besar-besaran yang disebut 'darurat Indonesia' semakin meluas di depan gedung DPR dan di berbagai daerah lainnya.
Dengan hanya dua hari kerja tersisa sebelum masa pendaftaran pasangan calon Pilkada 2024 dimulai, timbul pertanyaan apakah masih ada peluang untuk membatalkan putusan MK.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya (UB), Muhammad Ali Safa'at, menilai bahwa secara umum, peluang untuk menganulir putusan MK sudah tidak ada lagi.
Namun, ia menyebut masih ada dua celah melalui peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Pilkada. Meskipun begitu, langkah ini akan dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan MK yang terakhir.
"Jika perubahan undang-undang tidak jadi disahkan atau dibatalkan, maka otomatis harus mengikuti putusan MK," ujar Ali saat diwawancarai Pepe News pada Jumat (23/8).
Ali juga mengingatkan agar waspada terhadap manuver yang mungkin dilakukan oleh DPR atau Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menyoroti potensi adanya aturan dalam PKPU yang dipaksakan masuk saat KPU berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI, yang akhirnya berbeda dari putusan MK.
Menurut Ali, PKPU yang tidak mengikuti putusan MK dapat dianggap cacat hukum dan cacat konstitusional, karena tidak memiliki landasan hukum yang sah.
Mengenai kemungkinan penerbitan Perppu oleh Presiden Jokowi, Ali menjelaskan bahwa Perppu hanya dapat dikeluarkan dalam kondisi tertentu, seperti kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum, adanya kekosongan hukum, atau jika undang-undang yang ada tidak memadai.
Namun, dengan adanya putusan MK yang sudah jelas, tidak ada alasan yang cukup mendesak untuk menerbitkan Perppu tersebut.