Jakarta, Pepe News (11/9) - Seorang warga Kabupaten Badung, Bali, bernama I Nyoman Sukena terancam hukuman penjara lima tahun setelah diketahui memelihara empat ekor landak Jawa di kediamannya. Penangkapan terhadap Nyoman Sukena dilakukan pada awal Maret 2024 setelah adanya laporan dari masyarakat sekitar. Kini, Sukena harus menghadapi proses persidangan.
Juru bicara Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Gede Putra Astawa, menjelaskan bahwa sidang dengan agenda pembacaan dakwaan telah digelar pada tanggal 29 Agustus 2024.
Sukena dijerat dengan pelanggaran Pasal 21 ayat 2 a juncto Pasal 40 ayat 2 UU RI Nomor 5 Tahun 1990 terkait Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE), yang mana ancaman hukumannya adalah lima tahun penjara.
"Penuntut umum mendakwa terdakwa dengan ancaman hukuman lima tahun penjara," kata Astawa saat dimintai keterangan, Senin (9/9).
Saat ini, Nyoman Sukena ditahan dan dititipkan di Lapas Kerobokan, Bali.
"Saat ini, terdakwa ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan. Sebelumnya, pada tahap penyidikan di kepolisian, terdakwa tidak ditahan. Namun, setelah berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan, ia ditahan sejak tanggal 12 Agustus 2024," tambahnya.
Astawa juga menyebutkan bahwa keluarga terdakwa, melalui kuasa hukumnya, telah mengajukan permohonan pengalihan status penahanan.
''Keluarga terdakwa telah mengajukan permohonan untuk perubahan status penahanan. Jawaban atas permohonan itu akan diberikan dalam sidang lanjutan yang akan digelar pada Kamis (12/9) mendatang. Dari pihak terdakwa, juga akan dihadirkan saksi-saksi yang meringankan. Permohonan tersebut disampaikan melalui kuasa hukum keluarga dan didukung dengan jaminan dari warga desa. Warga setempat yang bersimpati menjamin bahwa terdakwa akan bersikap kooperatif dan tidak akan melarikan diri," jelasnya lebih lanjut.
Keempat landak yang dipelihara oleh Sukena adalah jenis landak Jawa atau Hysterix javanica, yang merupakan satwa liar dilindungi. Berdasarkan hasil persidangan, diketahui bahwa hewan-hewan tersebut pada awalnya merupakan milik mertuanya yang menangkap mereka karena dianggap merusak tanaman.
Karena tidak mengetahui bahwa hewan tersebut masuk dalam kategori satwa yang dilindungi, Sukena memutuskan untuk memeliharanya.
"Menurut kesaksian di persidangan, terdakwa mengungkapkan bahwa landak-landak tersebut ditangkap oleh mertuanya karena dianggap merusak tanaman. Kemudian, terdakwa memutuskan untuk memelihara hewan-hewan itu tanpa mengetahui bahwa diperlukan izin khusus dan bahwa mereka merupakan satwa yang dilindungi. Di wilayahnya memang banyak hama seperti itu, menurut saksi yang dihadirkan," ungkap Astawa.
Keempat landak yang diambil dari rumah Sukena kini dititipkan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Provinsi Bali.
"Saat ini, empat ekor landak tersebut sudah dititipkan ke BKSDA Bali setelah diamankan dari kediaman terdakwa. Mengenai berapa lama terdakwa memelihara hewan-hewan itu, saya belum bisa memastikan karena pemeriksaan lanjutan terhadap terdakwa baru akan dilakukan pada sidang Kamis nanti," tambahnya.
Ahli Hukum: Nyoman Sukena, Pemelihara Landak Langka, Layak Dibebaskan
Dosen Hukum dari Universitas Trisakti, Albert Aries, berpendapat bahwa seorang warga Badung, Bali, bernama I Nyoman Sukena, yang saat ini menghadapi proses hukum karena memelihara empat ekor landak Jawa langka (Hystrx Javanica), seharusnya dibebaskan.
Menurut Albert, kasus hukum yang menjerat Nyoman Sukena menunjukkan adanya penerapan hukum pidana yang berlebihan (overspanning van het strafrecht). Dia menegaskan bahwa penggunaan hukum pidana dalam perkara seperti ini seharusnya dijadikan sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium.
"Kasus ini mengandung unsur pelanggaran hukum materiil dalam fungsi negatifnya, yang seharusnya menjadi dasar penghapusan pidana di luar KUHP. Terlebih lagi, landak tersebut dirawat dengan baik oleh Nyoman Sukena, bahkan berkembang biak, dan digunakan dalam upacara adat yang memiliki nilai penting bagi masyarakat lokal," jelas Albert kepada Pepe News, Rabu (11/9).
"Karena itu, Sukena seharusnya dibebaskan atau minimal dibebaskan dari tuntutan," tambahnya.
Sebagai undang-undang administrasi yang mengandung sanksi pidana (administrative penal law), Albert menjelaskan bahwa seharusnya penegakan hukum pidana dalam UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dilakukan sebagai opsi terakhir atau ultimum remedium. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, aparat seharusnya mempertimbangkan alternatif lain seperti pembinaan atau sanksi administratif.
Albert juga menyoroti perlunya pergeseran paradigma dalam sistem hukum Indonesia, dari keadilan retributif yang menekankan pembalasan (lex talionis), menuju pendekatan yang lebih menitikberatkan pada keadilan korektif dan restoratif.
"Kita sudah memiliki UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang meskipun baru akan efektif berlaku pada 2 Januari 2026, prinsip-prinsip keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif dalam KUHP baru tersebut bisa mulai diterapkan dalam praktik hukum pidana kita saat ini," jelas Albert lebih lanjut.
Ia juga menekankan pentingnya bagi para hakim dan penegak hukum untuk memahami tujuan pemidanaan yang lebih luas sebagaimana diatur dalam Pasal 51-54 KUHP baru. Hal ini sejalan dengan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman, di mana hakim dituntut untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan di tengah masyarakat. Menurut Albert, ada banyak persoalan yang lebih penting daripada sekadar menghukum seseorang seperti I Nyoman Sukena.
"Hakim dan aparat penegak hukum perlu lebih peka dalam menangkap rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Kita harus mengutamakan penyelesaian masalah yang lebih substantif daripada hanya menerapkan hukuman semata," ujarnya.
Nyoman Sukena kini terancam menghadapi hukuman penjara selama lima tahun karena kedapatan memelihara empat ekor landak Jawa yang tergolong satwa langka. Penangkapan terhadap Nyoman dilakukan oleh pihak kepolisian pada awal Maret 2024 setelah adanya laporan dari warga sekitar. Saat ini, Sukena sedang menjalani proses peradilan.
Menurut keterangan Humas Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Gede Putra Astawa, sidang dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Nyoman Sukena telah dilaksanakan pada 29 Agustus 2024.
Dalam persidangan tersebut, Sukena didakwa melanggar Pasal 21 ayat 2 a juncto Pasal 40 ayat 2 dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Jika terbukti bersalah, Sukena bisa menghadapi hukuman maksimal lima tahun penjara.
Albert Aries menegaskan bahwa kasus ini mencerminkan perlunya pendekatan hukum yang lebih bijaksana dan proporsional, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan individu yang tidak bermaksud melanggar hukum. Nyoman Sukena, lanjut Albert, tidak bermaksud untuk merugikan lingkungan atau satwa yang dilindungi, melainkan hanya merawat hewan-hewan tersebut karena ketidaktahuannya tentang status perlindungan yang mereka miliki.
"Kami harus bisa melihat bahwa tidak semua tindakan harus diselesaikan dengan hukuman pidana. Banyak alternatif lain yang lebih adil dan bermanfaat, baik bagi terdakwa maupun masyarakat secara keseluruhan," tutup Albert.
Kasus ini menimbulkan perhatian publik, terutama dari para pegiat hukum dan lingkungan yang berharap bahwa ada solusi yang lebih humanis dalam penanganan perkara-perkara semacam ini. Sebagian pihak juga menyarankan adanya edukasi yang lebih mendalam bagi masyarakat mengenai satwa langka dan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem tanpa harus menjatuhkan sanksi pidana yang berat kepada individu yang tidak mengetahui aturan yang berlaku.