Kepolisian Kota Besar (Polrestabes) Semarang Mengumumkan Hasil Visum Dokter Spesialis Anestesi Universitas Diponegoro (Undip)

 






Polrestabes Semarang baru-baru ini mengumumkan hasil visum dalam kasus kematian Aulia Risma Lestari, seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan untuk menjadi dokter spesialis anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). Pengumuman hasil visum ini disampaikan kepada Tim Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berkunjung ke kantor Polrestabes Semarang pada Jumat (16/8).


Tim dari Kemenkes yang hadir dipimpin oleh Inspektur Jenderal Kemenkes Murti Utami serta Inspektur Investigasi Valentinus Rudy Hartono. Setibanya di Mapolrestabes Semarang, mereka langsung mengadakan pertemuan dengan Kepala Polrestabes Semarang Kombes Polisi Irwan Anwar dan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Kompol Andika Dharma Sena.


Irwan menjelaskan bahwa kedatangan tim Kemenkes bertujuan untuk berkoordinasi dalam penyelidikan dan investigasi kasus kematian Aulia yang diduga bunuh diri pada Senin (12/8). Ia juga menginformasikan kepada tim Kemenkes bahwa hasil visum menunjukkan penyebab kematian adalah sesak napas. Adapun apakah kematian ini berhubungan dengan dugaan overdosis obat penghilang rasa sakit yang disuntikkan oleh korban, Irwan menyatakan hal itu baru bisa dipastikan setelah hasil autopsi keluar.


Saat ini, proses autopsi tersebut belum mendapatkan izin dari keluarga korban. "Korban (AR) diindikasi telah meninggal dikarenakan kekurangan napas, dan tidak ditemukan adanya indikasi kekerasan ataupun penganiayaan dari hasil visumnya. Terkait dugaan bunuh diri, belum dapat dipastikan karena bisa saja terjadi akibat kelalaian dalam menyuntikkan obat penghilang rasa sakit melebihi dosis yang dianjurkan. Kami masih terus mendalaminya," ujar Irwan setelah pertemuan dengan tim Kemenkes di Mapolrestabes Semarang.


Mengenai dugaan adanya perundungan yang menjadi salah satu faktor bunuh diri, Irwan menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada petunjuk yang mengarah ke sana baik dari saksi maupun bukti. "Sejauh ini belum ada indikasi ke arah perundungan. Kami membutuhkan saksi dan bukti yang kuat. Jika memang ada, kami pasti akan memprosesnya secara hukum," tegas Irwan.


Sementara itu, pihak Kemenkes yang datang ke Mapolrestabes Semarang, baik Irjen Murti Utami maupun Valentinus Rudy, enggan memberikan komentar lebih lanjut dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kapolrestabes Semarang. "Masih dalam pendalaman. Satu pintu saja melalui Kapolrestabes. Kami sudah berkoordinasi dan sikapnya sama," ujar Valentinus Rudy.


Dekan FK Undip Sebut Korban Sempat Konsultasi ke BKMF


Dari pihak Dekanat Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Dekan Yan Wisnu Prajoko mengungkapkan bahwa Aulia, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Program Studi (Prodi) Anestesi, beberapa kali tidak masuk kuliah dengan alasan sakit. "Beberapa kali tercatat mengajukan surat izin karena sakit, namun mengenai persentase kehadirannya saya tidak tahu secara pasti," jelas Yan Wisnu Prajoko di Semarang pada Jumat ini.


Yan juga menyebut bahwa Aulia pernah beberapa kali datang ke Badan Konsultasi Mahasiswa Fakultas (BKMF) untuk berkonsultasi dan berbagi masalah terkait studinya dan hubungannya dengan orang tua. ''Dia beberapa kali mengunjungi BKMF untuk membahas kemajuan studinya dan interaksinya dengan orang tuanya. Namun, detailnya saya tidak tahu pasti. Sama seperti mahasiswa lainnya," tambah Yan.


Dalam buku harian yang ditemukan di kamar kosnya, Aulia sempat menuliskan curahan hati tentang betapa dirinya merasa tidak mampu lagi menjalani studi sebagai calon dokter spesialis anestesi di Fakultas Kedokteran Undip. Selain buku harian, polisi juga menemukan tiga bekas luka suntikan di punggung tangan serta cairan sisa obat penghilang rasa sakit.


IDI Jateng Mendukung Investigasi Dugaan Perundungan di PPDS Undip


Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah menyatakan dukungannya kepada Kementerian Kesehatan untuk menginvestigasi dugaan perundungan yang terjadi di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. "Kami mendukung agar masalah ini bisa diselesaikan dengan baik," ujar Ketua IDI Jawa Tengah, Telogo Wismo Agung Durmanto di Semarang, Kamis (15/8).


Sebelumnya, diberitakan bahwa mahasiswi Program Studi Anestesi Fakultas Kedokteran Undip Semarang, AR, meninggal dunia akibat bunuh diri pada Senin (12/8) di indekosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang. Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan mengeluarkan surat Nomor TK.02.02/D/44137/2024 yang memerintahkan penghentian sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di RSUP Kariadi Semarang.


Surat tersebut menjelaskan bahwa penghentian sementara diberlakukan karena dugaan perundungan yang menyebabkan bunuh diri salah satu mahasiswi program studi tersebut berinisial AR. Penghentian sementara ini berkaitan dengan investigasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan atas peristiwa tersebut.


Menurut Telogo, terdapat potensi kejadian serupa terjadi kembali di kemudian hari. "Jangan sampai ada lagi peserta PPDS yang meninggal karena kelelahan atau sakit," katanya. Ia juga mengakui adanya tambahan informasi di luar jam kuliah yang penting untuk diketahui oleh dokter peserta pendidikan spesialisasi. "Jika ada kasus menarik, peserta bisa diundang untuk menambah ilmu, namun itu bukan tambahan jam kerja," tambahnya.


Budaya Perundungan Gelap dan Kematian Dokter Muda PPDS Undip





Seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Program Studi Anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang diduga meninggal dunia akibat perundungan. Mahasiswi tersebut, berinisial AR, ditemukan meninggal di kamar indekosnya. Polisi mengungkap bahwa AR menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya.


Dekat tubuhnya ditemukan buku catatan yang mengungkapkan beratnya perjalanan AR selama menempuh pendidikan dokter spesialis. Dalam buku tersebut juga terdapat curhatan AR kepada ibunya mengenai kesulitan yang dihadapinya.


Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa budaya perundungan di kalangan dokter spesialis sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Kemenkes pernah memeriksa hal ini melalui screening mental peserta PPDS.


Hasilnya menunjukkan bahwa 22,4 persen peserta PPDS mengalami depresi. Para dokter muda ini tersebar di berbagai rumah sakit pemerintah.


Kasus ini bukanlah yang pertama. Pada tahun 2023, media sosial dihebohkan dengan berita perundungan di kalangan dokter spesialis. Hal ini juga mendapat perhatian dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.


Saat itu, Kemenkes memanggil dokter-dokter yang menjadi korban. Kemenkes menemukan bahwa korban mengalami stres akibat tekanan pekerjaan yang tidak terkait dengan kedokteran.


"Beberapa peserta didik diperlakukan seperti asisten, sekretaris, atau pembantu pribadi. Mereka diperintah untuk mengantarkan cucian ke laundry, membayar laundry, hingga antar-jemput anak dokter senior," kata Budi dilansir dari situs resmi Kemenkes, 20 Juli 2023.


"Bahkan ada korban yang diminta untuk membayar hingga puluhan juta rupiah demi keperluan pribadi dokter spesialis," tambahnya.


Pakar kesehatan masyarakat, Hermawan Saputra, berpendapat bahwa perundungan terhadap PPDS terjadi akibat sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.


Ia menjelaskan bahwa tidak semua perguruan tinggi memiliki program pendidikan dokter spesialis sehingga kuota menjadi terbatas. Hal ini membuat kompetisi antar dokter tergantung pada kapasitas jaringan dan keuangan mereka.


"Ini yang menyebabkan terjadinya kompetisi, dan di satu sisi, orang yang masuk harus siap dengan proses pendidikan yang padat, ketat, dan feodalistik. Adanya perundungan dari senior ke junior sangat ketat, terutama di tahap awal program stase," kata Hermawan saat dihubungi Pepe News, Jumat (16/8).


Hermawan menjelaskan bahwa program dokter spesialis membuat dokter muda harus menjalin hubungan intens dengan para seniornya. Sayangnya, hubungan ini sering dimanfaatkan oleh oknum dokter senior.


Hermawan mengatakan bahwa dokter muda sering kali harus bekerja lebih berat menggantikan seniornya. Selain itu, ada tugas lain yang memaksa peserta PPDS untuk menuruti perintah dokter senior.


Dosen Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Ede Darmawan mengakui bahwa memang ada budaya perundungan di kalangan dokter spesialis.


Menurutnya, budaya ini sudah berlangsung lama dan terus diwariskan karena pihak-pihak terkait tidak mengambil langkah konkret untuk menghentikannya.


"Hal ini memang ada keterkaitan dengan budaya lama di pendidikan dokter spesialis yang tentunya sangat harus diperbaiki," kata Ede saat dihubungi Pepe News, Jumat (16/8).


"Ada perasaan dendam, 'Dulu saya diperlakukan demikian oleh senior, sekarang giliran saya,'" ujarnya.


Ede menilai hal ini menjadi sebuah ironi. Perundungan terjadi di kalangan orang-orang terdidik di negeri ini. Seharusnya hal ini tidak terjadi.


Ia mendorong semua pihak untuk bergerak memberantas perundungan di kalangan dokter spesialis.


Pengawasan Ketat terhadap Dokter


Langkah pertama yang bisa dilakukan, menurut Ede, adalah membentuk unit khusus yang memantau anggota PPDS. Unit ini akan secara rutin memonitor kondisi mental dan berfungsi sebagai tempat pengaduan bagi korban perundungan.


Ede juga mendorong pemerintah untuk memperbaiki institusi pendidikan kedokteran di seluruh negeri. Kampus harus bertanggung jawab dalam mencegah perundungan antar dokter.


"Karena mereka adalah aset. Setahun dokter spesialis tidak sampai seribu orang. Mereka nantinya akan memberi manfaat, bukan hanya bagi diri mereka dan keluarga, tapi juga bagi masyarakat," ujar Ede.


Hermawan setuju dengan hal ini. Ia mengatakan harus ada pengawasan yang jelas dan ketat terhadap profesionalisme dokter spesialis dalam membimbing juniornya.


Lebih baru Lebih lama